Minggu, 22 Maret 2009

Kain Buton Sebagai Identitas



Secara administrasi pemerintahan, masyarakat Buton kini boleh tercerai berai menyusul terbentuknya kabupaten- kabupaten baru dalam rangka pemekaran Kabupaten Buton yang wilayahnya mencakup hampir semua daerah kesultanan di masa lampau.

Namun, secara kultural mereka masih akrab dengan nilai-nilai budaya yang telah menjadi ciri khas dan menjadi perekat hubungan sosial sejak lama.

Salah satu perekat sosial itu adalah kain tenun tradisional. Tenunan Buton tampak bersahaja tetapi spesifik. Masyarakat Buton dari semua strata bangga menggunakan kain tenun bercorak daerahnya, di mana pun ia berada.

Hampir semua wanita Buton sejak dulu dikenal mahir menenun. Istri-istri para sultan pun pandai menenun. Tak heran jika dalam berbusana pun mencerminkan strata atau status sosial dalam masyarakat karena kain tenunan Buton merupakan tanda pengenal status sosial dalam masyarakat Buton dari masa lalu sampai sekarang.

Seorang wanita muda yang sudah berumah tangga bisa dilihat dari caranya berpakaian. Busana untuk gadis (kalambe) lain lagi. Gadis orang kebanyakan menggunakan kain biasa dengan motif yang umum, seperti kasopa. Sedangkan gadis dari golongan bangsawan dengan gelar Wa Ode harus memakai kain yang didominasi warna perak yang disebut motif kumbaea. Jadi seseorang siapapun dia jika memakai kain Buton dengan motif kumbaea pasti adalah seorang bangsawan.

Sebagai identitas, kain tenunan Buton masih berlaku dan cenderung makin menguat belakangan ini. Bahkan, produk tenunan itu telah menjadi simbol pemersatu secara kultural masyarakat Buton, terutama mereka yang hidup di perantauan.

Di daerah asalnya sendiri, seperti Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Wakatobi, kain tenun Buton merupakan bahan pakaian sehari-hari warga setempat.

Harga kain sarung Buton saat ini paling tinggi Rp 150.000 selembar, namun Jika kain itu nanti terbuat dari benang sutra harganya bisa Rp 400.000 per lembar.

Para penenun di Buton menggunakan alat tenun gedokan. Selembar kain dengan panjang empat meter dan lebar 65 sentimeter dikerjakan sekitar satu minggu.

Umumnya, kain tenun Buton bercorak garis-garis searah untuk bahan pakaian wanita dan garis-garis berpotongan untuk pria. Garis-garis itu sering dipertegas dengan benang emas atau perak.

Ibarat pelukis, para perajin tenun Buton menganut aliran surealisme. Mereka membuat motif sebagaimana obyek yang mereka lihat di alam sekitarnya.kekuatan daya tarik kain tenunan Buton justru pada motifnya yang sangat kaya itu.

Mengadakan kerja sama dengan desainer dan peragawati terkenal untuk membuat model pakaian khas Buton itu untuk memancing minat masyarakat luas di luar komunitas adalah upaya yang perlu dikembangkan bagi meluasnya pangsa pasar hasil kerajinan rakyat yang diwarisi turun temurun itu.

2 komentar: