Selasa, 24 Maret 2009

Kunjungan Wisata di Kota Bau-Bau

Wisata sejarah 

Benteng (Kraton ) Wolio Buton dibangun tahun 1634-1645 oleh Sultan Buton ke-VI, La Buke, yang memiliki panjang 2.740 m, tebal 1-2 m, tinggi 2-8 m, memiliki 12 pintu gerbang (lawa)(rakia, lanto, labunta, kampebuni, waborobo, dete, kalau, wajo/bariya, burukene/tanailandu, melai/baau, lantongau, gundu-gundu), dan 16 bastion/empalsemen meriam (baluara) (gama, litao, barangkatopa, wandailolo, baluwu, dete, kalau, godona oba, wajo/bariya, tanailandu, melai/baau, godona batu, lantongau, gundu-gundu, siompu, rakia) dengan kontruksi bangunan yang terbuat dari pasir dan batu kapur serta putih telur sebagai perekatnya, terbentang melingkar membentuk huruf ‘dal’, rekor MURI sebagai Benteng terbesar dan terluas di dunia 22,8 Ha. Peninggalan sejarah utuh tentang kejayaan Kesultanan Buton di masa silam,

Masjid Agung Keraton (Masigi Ogena) terletak di sebelah utara dalam Benteng Keraton, dibangun pada abad XVII (1712M) Pada masa Sultan Sakiyuddin Durul Alam atau La Ngkariyiri, berukuran 20,6 x 19,40 m dan bersusun 3, filosofi unik masjid ini menggambarkan simbol keseluruhan yang ada dalam tubuh manusia yang kokoh, menggunakan 33 pasak dari macam-macam jenis kayu, didalamnya terdapat bedug tua berukuran 1,5 m dan berdiameter 50 cm. 

Kasulana Tombi (Tiang Bendera) yang digunakan untuk mengibarkan bendera Kesultanan, bendera Longa-Longa, terletak di sebelah kiri Masjid Agung Keraton, terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21m, Didirikan tahun 1712 bersamaan dengan Masjid Agung Keraton, 

Rumah adat Wolio (Malige/Kamali) adalah bangunan bersusun 3 yang berfungsi sebagai rumah jabatan Sultan di Buton, dengan kontruksi rumah panggung dari kayu jati dan wola (beti) dan semua pasaknya terbuat dari kayu. Kamali di kawasan Benteng tersisa 2 buah yaitu Kamali Kara dan Kamali Bata, ketika seseorang menjadi Sultan maka otomatis rumah orang tersebut berubah menjadi Kamali.

Makam Sultan Murhum terletak di areal dalam Benteng Keraton, Sultan Murhum atau Kaimuddin Khalifatul Hamis adalah raja ke-VI (raja terakhir) dan Sultan pertama. Murhum yang mempunya nama kecil Lakilaponto ini memerintah tahun 1538-1584, ia mengalahkan La Bolontio bajak laut bermata satu dari kepulauan Tobelo di Maluku Utara, Murhum juga di kenal dengan nama “Halu Oleo” artinya “8 hari” (bahasa Muna) karena menyelesaikan perang saudara antara Konawe dan Mekongga dalam waktu 8 hari.

Batu Popaua, Batu pelantikan yang terletak di depan Masjid Agung, berbentuk batu ponu atau simbol kewanitaan, tempat Raja/Sultan dilantik oleh Dewan Mentri dengan cara memutarkan payung di atas kepalanya, batu ini dianggap suci dan keramat dan di percaya tempat pertama kalinya Raja Buton pertama Waa Kaa Kaa menginjakkan kakinya. 

Batu Yigandangi, pada malam sebelum pelantikan Sultan/Raja dipukulkan gendang sehingga muncul mata air pada batu tersebut yang digunakan calon Sultan untuk mandi, menyerupai tugu batu, symbol kejantanan, oleh masyarakat setempat dianggap belum sampai ke tanah Buton jika belum menyentuh batu ini, dan yang mengunjunginya akan mendapat rahmat dan rezeki.

Jaraijo artinya kuda hijau, kuburan kuda kesayangan Sultan yang selalu memakai aksesoris serba hijau, namun versi lain dikatakan bahwa Jaraijo adalah makam Onderbevelhebber Steven Barentzoon seorang Belanda, pada tahun 1635, Dia dan 4 rekannya menghalangi pembangunan Benteng Keraton namun tidak merubah hubungan Belanda dengan Kesultanan Buton. Selain Batu Popaua, Batu Yigandangi, dan Jaraijo terdapat pula wisata situs lainya yaitu Batu Maali, Batu Poaro, dan Batu Manuru.
   
Masjid Kuba, kuba dalam bahasa Buton artinya kolam, kolam yang teletak di bagian depan Masjid ini berfungsi sebagai tempat mengambil air wudhu, didirikan pada masa Sultan Muhammad Idrus tahun 1826 M, terletak 1km dari Benteng Keraton, di dalamnya terdapat makam Sultan Buton ke-XXIX.
Samparaja ( jangkar ) terdapat di dalam kawasan Benteng, sebelumnya berada di luar Benteng Keraton, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, jangkar ini bersal dari kapal VOC yang karam di sekitar pulau Muna.

Pusat Kebudayaan Wolio, museum yang awalnya merupakan Kamali dari Muhammad Falihi, Sultan Buton ke-38 (1938-1960), di tempat ini banyak terdapat benda-benda peninggalan Kesultanan Buton salah satunya mata uang kampua (alat tukar yang terbuat dari kain tenun Buton).

Wisata alam 

Pantai Nirwana dengan hamparan pasir putih sejauh 1 km, terletak ± 11 km dari pusat Kota Bau-Bau, banyak digunakan untuk, berjemur, menyelam, snorkling, dayung, volley pantai, dan menikmati indahnya matahari terbenam (sunset).

Pantai Lakeba, objek wisata alam yang letaknya tak jauh dengan objek wisata Pantai Nirwana ini menyuguhkan keindahan matahari yang terbenam dan aktivitas nelayan pada saat akan melaut. Selain pantai Nirwana dan pantai Lakeba terdapat juga pantai-pantai lainya seperti pantai Kokalukuna yang menyajikan keindahan alam yang tak kalah eksotisnya.

Pantai Kamali, Kawasan public space (reklamasi pantai), obyek wisata dan pedagang kaki lima,seluas 26.040 m² di pesisir pantai Kota, 40% public service termasuk pedagang kaki lima, 60% pendopo, perparkiran, kios souvenir, jogging track, WC umum, taman dan areal olah raga air, sebagai paru-paru Kota, kegiatan artis atau pagelaran seni kota, diasumsikan terdapat 200-1000 pengunjung/hari.

Air tejun Samparona, air terjun dengan ketinggian hampir 100 m ini terletak di Kecamatan Sorawolio, ± 13 km timur pusat Kota Bau-Bau, hutan pinus dan kicauan suara burun menemani anda dalam perjalanan menuju lokasi air terjun ini, selain air terjun Samparona juga terdapat air terjun Tirta Rimba yang terletak ± 6 km dari pusat Kota Bau-Bau dan air terjun Lagawuna yang terletak ± 24 km dari pusat Kota Bau-Bau. Permandian alam Bungi, air terjun bertingkat yang sejuk dibawah kerindangan pohon, terletak ± 8 km dari pusat Kota Bau-Bau.

Gua Lakasa, terletak ± 9 km dari barat pusat Kota Bau-Bau, 1 km dari jalan poros Kelurahan Sulaa Kecamatan Betoambari, pada kedalaman 120 m terdapat mata air yang mengkristal serta ornament yang berupa stalaktit dan stalaknit yang keberadaannya mencapai ratusan tahun sehingga memberikan nuansa yang menakjubkan.

Guantiti, ntiti dalam bahasa Wolio berarti menetes sehingga pada gua ini banyak ditemukan titisan air yang menetes pada dinding gua, gua bekas perdaban manusia yang telah membatu ini menyuguhkan relief dinding gua bagai ukiran buah tangan manusia.

Gua Arupalaka (Liana La Toondu) gua atau merupakan ceruk ini merupakan tempat persembunyian Arupalaka, seorang Raja Bugis, dari kejaran pasukan Gowa.

Hoga, yang terdapat di kepulauan Tukang Besi / Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko) menyajikan taman laut yang masih alami dan menjadi kawasan wisata taman laut pertama yang mengajak penyelam-penyelamnya untuk mendapat sebuah perjalanan yang nyaman dan menakjubkan.

Wisata Kerajinan & Budaya

Pande riti (kuningan) dan pande pera (perak) memproduksi perhiasan kelengkapan pada baju adat serta kelengkapan peralatan adat lainnya seperti periuk, talang, gong, dan lain sebagainya.

Pande tanu (tenun) merupakan kerajinan rakyat berupa pembuatan kain sarung khan motif Buton dari benang yang di tenun. Motif kain tenun sangat beragam karena di dasarkan pada strata/status sosial dan ketentuan dalam upacara adat.

Pande reo (gerabah) usaha gerabah ini di kelola dalam bentuk usaha keluarga yang memproduksi gerabah seperti, periuk, pot bunga, kuwali dan segala bentuk keperluan adat dan rumah tangga. Pande ase (besi) memproduksi parang, tombak, cangkul dan perlengkapan besi lainya.



Minggu, 22 Maret 2009

Kabanti, Syair Sastra Wolio


Tradisi menulis masyarakat Buton dapat dilihat melalui naskah-naskah kesusastraan Wolio (Buton) yang berbentuk syair atau yang disebut Kabanti. Penulisannya dilakukan dalam aksara Arab, Arab-Melayu, dan aksara Wolio. Naskah dalam kanbanti ini umumnya bercerita mengenai tema-tema tasawuf atau keagamaan.

Bismillahi kaasi karoku siy
Alhamdu padaaka kumatemo
Kajanjinamo Oputa momakaana
Apekamate bari-baria batua

Yinda samia batua bemolagina
Sakabumbua padaa posamatemo
Soomo Opu alagi samangengea
Sakiaiya yindaa kokapadaa

E Wapu dawuaku iymani
Wakutuuna kuboli badakusiy
Te syahada iqraru momatangka
Tetasidiqi iymani mototapu

E Waopu rangania rahmati
Muhammadi cahea baabaana
Oinciamo kainawa motopene
Mosuluwina bari-baria batua

Sio-siomo Waopu bekupokawa
Yi muhsyara toromuana batua
Aagoaku yi azabu narakaa
Yi huru-hara naile muri-murina

Siy saangu Nidzamu oni Wolio
Yi karangina Suluthani mo adili
Kukarangia betao paiasaku
Barasalana bekuose kaadari

Sio-siomo Opu atarimaaku
Bekuewangi yincaku momadakina
Kusarongia Kabanti yincia siy
Bula malino kapekarunana yinca




Kabanti diatas berjudul Bula Malino atau Purnama yang jernih, kabanti yang terdiri dari 92 bait ini mengisahkan tentang ajal atau kematian yang akan segera datang pada diri seseorang, bahwa kematian itu ibarat purnama yang jernih tanpa halangan sesuatu apa pun bila kita ikhlas berserah diri pada-Nya.

Kain Buton Sebagai Identitas



Secara administrasi pemerintahan, masyarakat Buton kini boleh tercerai berai menyusul terbentuknya kabupaten- kabupaten baru dalam rangka pemekaran Kabupaten Buton yang wilayahnya mencakup hampir semua daerah kesultanan di masa lampau.

Namun, secara kultural mereka masih akrab dengan nilai-nilai budaya yang telah menjadi ciri khas dan menjadi perekat hubungan sosial sejak lama.

Salah satu perekat sosial itu adalah kain tenun tradisional. Tenunan Buton tampak bersahaja tetapi spesifik. Masyarakat Buton dari semua strata bangga menggunakan kain tenun bercorak daerahnya, di mana pun ia berada.

Hampir semua wanita Buton sejak dulu dikenal mahir menenun. Istri-istri para sultan pun pandai menenun. Tak heran jika dalam berbusana pun mencerminkan strata atau status sosial dalam masyarakat karena kain tenunan Buton merupakan tanda pengenal status sosial dalam masyarakat Buton dari masa lalu sampai sekarang.

Seorang wanita muda yang sudah berumah tangga bisa dilihat dari caranya berpakaian. Busana untuk gadis (kalambe) lain lagi. Gadis orang kebanyakan menggunakan kain biasa dengan motif yang umum, seperti kasopa. Sedangkan gadis dari golongan bangsawan dengan gelar Wa Ode harus memakai kain yang didominasi warna perak yang disebut motif kumbaea. Jadi seseorang siapapun dia jika memakai kain Buton dengan motif kumbaea pasti adalah seorang bangsawan.

Sebagai identitas, kain tenunan Buton masih berlaku dan cenderung makin menguat belakangan ini. Bahkan, produk tenunan itu telah menjadi simbol pemersatu secara kultural masyarakat Buton, terutama mereka yang hidup di perantauan.

Di daerah asalnya sendiri, seperti Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Wakatobi, kain tenun Buton merupakan bahan pakaian sehari-hari warga setempat.

Harga kain sarung Buton saat ini paling tinggi Rp 150.000 selembar, namun Jika kain itu nanti terbuat dari benang sutra harganya bisa Rp 400.000 per lembar.

Para penenun di Buton menggunakan alat tenun gedokan. Selembar kain dengan panjang empat meter dan lebar 65 sentimeter dikerjakan sekitar satu minggu.

Umumnya, kain tenun Buton bercorak garis-garis searah untuk bahan pakaian wanita dan garis-garis berpotongan untuk pria. Garis-garis itu sering dipertegas dengan benang emas atau perak.

Ibarat pelukis, para perajin tenun Buton menganut aliran surealisme. Mereka membuat motif sebagaimana obyek yang mereka lihat di alam sekitarnya.kekuatan daya tarik kain tenunan Buton justru pada motifnya yang sangat kaya itu.

Mengadakan kerja sama dengan desainer dan peragawati terkenal untuk membuat model pakaian khas Buton itu untuk memancing minat masyarakat luas di luar komunitas adalah upaya yang perlu dikembangkan bagi meluasnya pangsa pasar hasil kerajinan rakyat yang diwarisi turun temurun itu.

Sejarah Kesultanan Buton


Sebagai sebuah negeri, keberadaan Buton tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yag dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.

Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbbaagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu palolang pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton.Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja.

Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.

Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butu, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk, ada usaha untuk mengkaitkan nama Buton ini dengan bahasa Arab. Dikatakan, nama Buton berasal dari kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan.

Kerajaan Buton dan Islam

Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.
 
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.

Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum

Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

Periode Pemerintahan

Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M.

Wilayah Kekuasaan

Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.

Struktur Pemerintahan

Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan.

Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda.Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).

Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.

Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:

1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.

Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah kerajaan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.